20.6.08

Success is My Destiny

Setiap orang yang berada di planet bumi ini ( yang berakal sehat ) sedang berada dalam proses perjuangan untuk menggapai kesuksesan, kesejahteraan materi, dan kebahagiaan. Setiap hal yang kita lakukan, motivasinya adalah mengejar kesuksesan, kesejahteraan materi, dan kebahagiaan. Kesuksesan, kesejahteraan, dan kebahagiaan adalah hasil dari perjuangan. Perjuangan dalam meniti jalan setapak kehidupan.

Hidupku yang baru dua puluh enam tahun ini pun juga tidak lepas dari serangkaian perjuangan. Lelah? Lumayan! Tapi tanggung kalau harus menyerah dan berhenti di sini. Saat aku menoleh ke belakang, memang hidup selama dua puluh enam tahun rasanya lumayan lama juga. Baru pada usia yang sekarang inilah aku menyadari bahwa kedua orang tuaku adalah orang – orang yang perkasa karena bisa hidup selama lebih dari lima puluh tahun dalam kondisi ekonomi yang kurang oke tanpa bunuh diri. Bravo!! Terlebih lagi mamaku yang kami juluki Wanita Perkasa. Betapa tidak, sejak aku dan dua orang saudaraku masih kecil, beliaulah orang yang selalu berjuang untuk kepentingan ketiga orang anaknya. Mulai dari berjualan es cendol dan embem di depan rumah kami, berjalan kaki berpanas – panasan untuk menjajakan kantong plastik dan sampul buku dari satu tempat ke tempat lain, sampai mengambil upahan menjahit. Mulai dari ditinggal oleh papaku selama kurang lebih tiga bulan tanpa kabar, sampai membayar hutang – hutang papaku. Bahkan hingga saat ini, di usianya yang enam puluh tahun, beliau masih memiliki keinginan untuk membuka warung. Karena beliau masih memiliki impian yaitu memiliki rumah sendiri. Apakah mamaku orang yang sukses? Tentu saja! Mamaku adalah orang yang sukses. Sukses menapaki jalan kehidupan. Sukses mengatasi kejenuhan yang kerap kali menyapa. Dan sukses membesarkan dan mendewasakan ketiga orang anaknya.

“Masa depan adalah milik mereka yang percaya tentang keindahan mimpi – mimpi mereka”
( Eleanor Roosevelt )

Walaupun masa kecil kami (aku dan dua orang saudaraku) boleh di bilang jauh dari kelimpahan materi. Walaupun saat usiaku kurang lebih tiga tahun kami sempat tidak memiliki uang untuk membeli beras apalagi untuk membayar kontrakan rumah karena papaku tidak memiliki pekerjaan. Aku sungguh tidak ingin menyebut keadaan pada masa itu dengan kata “miskin”. Karena kami masih memiliki kesehatan yang baik. Karena kami tidak tidur di kolong jembatan. Karena kami masih memiliki tetangga yang baik hati yang telah banyak membantu keluarga ini di masa – masa sulit itu ( Terima kasih buat Lek Mun, Mbak Ani dan Mas Koko. Terima kasih ). Lebih dari itu, karena di masa – masa sulit seperti itu pun masih tersimpan serangkaian kenangan indah. Ada kenangan indah ketika makan malam bersama mamaku dan dua orang saudaraku dengan sebungkus nasi sayur yang kami barter dengan sebungkus karet gelang. Ada kenangan indah ketika kami merayakan imlek hanya dengan kue tusuk gigi yang kami buat dari hasil kerjaku sebagai pemulung. Ada kenangan indah ketika kakak sulungku menyewa sepeda untuk pertama kalinya dari hasil menjual sebutir telur ayam kampung peliharaan kami. Sungguh serangkaian kenangan yang indah. Aku pun suka tersenyum bila mengingat saat – saat itu.

Memang tidak seperti halnya anak – anak yang terlahir dalam keluarga yang berkelimpahan materi, yang mau apa saja tinggal minta sama bokapnya, yang dapat menikmati sekolah yang mewah, yang bisa belajar hingga perguruan tinggi bahkan sampai ke luar negeri (aku juga mau....) tanpa harus bekerja paruh waktu. Kami memang tidak seberuntung mereka. Tetapi meminjam kata orang bijak “Aku bersedih karena tidak punya sepatu sampai aku melihat orang yang tidak punya kaki” Apabila direnungkan, sesungguhnya kehidupan kami masih lebih baik dibandingkan sebagian besar orang yang tidak punya tempat tinggal, tidak punya keluarga, bahkan tidak sedikit anak yang putus sekolah. Kami jauh lebih beruntung dari mereka. Karena sejak Sekolah Dasar ( SD ) kami sudah memiliki kesempatan untuk menikmati bekerja paruh waktu. Karena sejak Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) kami sudah memiliki kesempatan membayar SPP sendiri, beli buku sendiri, dan tidak perlu minta uang jajan lagi. :-) Walaupun terkadang ada rasa iri di dalam hati ini, iri terhadap mereka yang bisa belajar hingga ke luar negeri, aku masih bersyukur dengan pendidikan yang berhasil ku raih hingga saat ini. Ternyata, lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara merupakan suatu berkah bagiku. Betapa tidak, karena dalam keluarga ini hanya aku yang memiliki kesempatan untuk belajar hingga jenjang Diploma III dan memperoleh gelar Ahli Madya. Dan itu semua berkat kerja keras dan pengorbanan seluruh anggota keluarga. Pengorbanan papa dan mamaku yang setiap aku hendak menerima rapor Sekolah Dasar selalu berusaha mencari pinjaman untuk melunasi tunggakan SPP, pengorbanan dua orang kakakku yang mencetak sampul buku selama 1 – 2 hari lalu menjualnya guna mendapatkan uang untuk mendaftarkan aku di Sekolah Menengah Pertama ( SMP ), dan pengorbanan kakak perempuanku yang melepaskan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas ( SMA ) yang baru berjalan tiga bulan agar kakak sulungku bisa menyelesaikan sekolahnya dan agar aku dapat melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ).

Sejak sekolah dasar, kami mulai belajar mencari uang untuk membantu orang tua. Dalam fase ini, kakak sulungku adalah orang yang memegang peranan yang paling besar dalam mengubah pola berpikirku. Ia memutuskan untuk menjual koran setelah dimarahi oleh mama dan papaku karena bertengkar dengan anak tetangga gara – gara main bola. Saat itu ia masih berada di kelas tiga Sekolah Dasar ( SD ). Setelah dimarahi oleh mama dan papa, mulai keesokan harinya kakakku tidak suka bermain – main lagi. Ia lebih memilih menjual koran bersama dengan teman sekolahnya. Cukup lama juga ia menjual koran, dan cukup banyak yang dapat ia raih ketimbang bermain bersama anak tetangga. Ia mulai bisa membayar SPPnya sendiri, membeli buku, membeli beberapa ekor ayam kampung untuk di pelihara dan kadang – kadang mentraktir adiknya makan bakso atau mie pangsit :-) masih ada dalam memori otakku saat aku mulai mengikuti jejaknya menjual koran. Setiap hari minggu, sehabis menjual koran kami membuat janji untuk bertemu di arena bermain, lalu main game bersama. Setelah itu ia mengajakku membeli bakso di daerah pertokoan Dika untuk dibawa pulang.

Setelah beberapa tahun menjual koran, ia beralih profesi menjadi pegawai di percetakkan pamanku. Saat itu ia sudah di Sekolah Menengah Pertama ( SMP ). Mungkin penghasilan yang dia peroleh di tempat itu lebih besar dari hasil menjual koran sehingga ia memutuskan untuk pindah. Di sana ia bekerja sebagai tukang sablon, mencetak kalender, dan membuat kotak – kotak baut dari kardus rokok. Dalam fase inipun cukup banyak yang bisa ia raih. Dari mulai membeli sepeda, mengontrak rumah, membeli kursi, membeli televisi, sampai mencoba menjalankan industri rumah tangga. Saat itu kakakku sudah mulai menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Atas ( SMEA PGRI 01 ). Ia bekerja sama dengan sahabatnya untuk memproduksi lilin. Kami sekeluarga pun membantunya di bidang produksi dan penjualan. Tetapi usaha tersebut tidak bertahan lama.

Masa kecil yang jauh dari kelimpahan itulah yang mendidik kami untuk mandiri, yang menempa kami untuk belajar dewasa. Masa kecil itu juga yang membuatku bersyukur karena memiliki dua orang saudara yang begitu sayang terhadap adik bungsunya.

Ternyata, jalan menuju puncak kesuksesan itu bukan seperti jalan tol yang bebas hambatan, melainkan mirip jalan setapak di pegunungan yang berkelok – kelok dan banyak batunya.

Tidak ada komentar: