12.6.08

Mempertanyakan Makna Kehidupan - Krishnamurti



Orang harus mengerti seluruh pertanyaan menyangkut eksistensi, menyangkut konflik-konflik, menyangkut pertempuran-pertempuran (di dalam) — pokoknya menyangkut seluruh kehidupan yang dijalaninya — (yang selama ini tampak) sedemikian kosong, sedemikian tanpa makna. Para intelektual mencoba memberinya satu makna, dan kitapun ingin menemukan signifikansi dalam hidup, oleh karena hidup tak punya makna bila hanya sekedar dihidupi saja; bukankah demikian? Perjuangan terus-menerus, kerja tiada henti, kesedihan, penderitaan, kesakitan waktu melahirkan, semua itu sebetulnya telah dijadikan tanpa makna — (sejauh) kita hanya menjalaninya sebagai suatu kebiasaan saja, suatu rutinitas saja. Akan tetapi, untuk menemukan signifikansi hidup, seseorang juga mesti mengerti signifikansi dari kematian, oleh karena kehidupan dan kematian berjalan seiring, bukan dua hal yang terpisah satu dengan yang lainnya.


“Makanya, orang harus mempertanyakan apa arti dari mati, oleh karena ia merupakan bahagian dari kehidupan kita. Ia bukan sesuatu yang jauh di masa depan, untuk dihindari, atau hanya akan dihadapi ketika sedang sakit parah, saat usia tua atau dalam suatu kecelakaan maupun di medan pertempuran. Sejauh ia merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari untuk hidup tanpa konflik pada setiap tarikan nafaspun, maka adalah merupakan bagian dari hidup kita juga untuk mengetahui apa artinya bagi kehidupan. Itu juga merupakan bagian dari keberadaan kita, makanya seseorang mesti memahaminya.


“Bagaimana kita bisa memahami apa kematian itu? Manakala Anda sedang sekarat, pada momen-momen terakhir, dapatkah Anda mengerti cara hidup Anda selama ini — tegangan-tegangan, perjuangan-perjuangan emosional, ambisi-ambisi, dan keinginan-keinginan? Anda mungkin tak sadarkan diri, sehingga membuat Anda tak mampu mencerap dengan baik. Belum lagi kacaunya pikiran pada usia tua dan sepanjang sisa hidup Anda itu. Makanya orang harus mengerti apa itu kematian sekarang, bukan besok. Manakala Anda hendak mencermatinya, pikiran tak mau memikirkannya. Ia malah memikirkan tentang apa yang akan dilakukan besok — bagaimana mengembangkan usaha baru, kamar-madi kamar-mandi yang lebih baik, serta berbagai hal-hal yang bisa dipikirkannya. Tapi ia tak mau memikirkan tentang mati, karena ia sendiri tak tahu apa artinya mati.


“Apakah makna dari kematian dapat ditemukan melalui proses dari pikiran? Mohon berbagi dalam hal ini. Manakala kita berbagi, kitapun akan melihat keindahan daripadanya, akan tetapi bilamana Anda hanya duduk disana dan membiarkan si pembicara nyerocos, hanya mendengarkan kata-katanya saja, maka kita tak berbagi bersama. Berbagi bersama mengimplikasikan kepedulian, perhatian, kasih-sayang, cinta. Kematian adalah suatu masalah besar. Anak-anak muda bisa saja berkata: "Mengapa merepotkannya?". Akan tetapi (mereka tak sadar kalau) ini bagian dari hidupnya, seperti hidup selibat yang juga bagian dari hidup mereka untuk dimengerti. Jangan hanya berkata, “Mengapa Anda bicara tentang hidup selibat, itu kan untuk para orang tua kolot, itu kan untuk pendeta-pendeta bodoh.” Apa makna (sebenarnya) dari hidup selibat (brahmacarya —anatta) juga masih merupakan masalah manusia, dan itupun bagian dari kehidupan.


“Bisakah pikiran sepenuhnya murni? Tak mampu menemukan bagaimana caranya hidup dalam kehidupan suci, orang-orang bersumpah selibat serta melaksanakan praktek-praktek penyiksaan-diri. Itu bukan hidup selibat. Hidup selibat (brahmacarya —anatta) adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda: ia diperuntukkan agar pikiran bebas dari citra-citra mental, dari semua pengetahuan (yang usang), yang berarti memahami keseluruhan proses dari kesenangan dan ketakutan.


“Demikianlah halnya, orang harus mengetahui hal yang disebut mati ini. (Tapi) bagaimana Anda akan melanjutkan memahami sesuatu pada apa Anda sangat ketakutan? Bukankah kita ketakutan pada kematian? Atau apakah, kita berkata, “Terimakasih Tuhan saya akan mati. Saya telah bosan pada hidup ini dengan segala deritanya, kebingungan, kebobrokan, kebrutalan, hal-hal mekanis pada mana seseorang terperangkap; sekali lagi terimaksih Tuhan semua ini akan berakhir!” Itu bukan jawabannya; bukan juga itu merasionalisasikan kematian, atau hanya karena percaya pada reinkarnasi, seperti yang dipercaya oleh seluruh dunia Asiatik. Untuk menemukan apa arti reinkarnasi, yang adalah terlahir pada kehidupan mendatang, Anda mesti mencari tahu, apa Anda sekarang. Bilamana Anda percaya pada reinkarnasi, (maka jawablah dahulu pertanyaan) apa Anda ini sekarang? — banyak kata-kata, banyak pengalaman, banyak pengetahuan; Anda terkondisi oleh beraneka-ragam budaya, Anda seluruhnya merupakan identifikasi dari kehidupan Anda — meubeler Anda, rumah Anda, rekening bank Anda, pengalaman suka dan duka Anda — itulah Anda, bukankah demikian? Ingatan-ingatan akan kegagalan, akan harapan-harapan, akan kekecewaan-kekecewaan — semua keberadaan Anda sekarang — itulah yang akan terlahir lagi pada kehidupan yang akan datang. Bukankah ini suatu gagasan yang indah?


“Ataukah, Anda pikir ada suatu jiwa permanen, suatu entitas permanen. Adakah sesuatu yang permanen dalam diri Anda? Pada saat Anda mengatakan ada suatu jiwa permanen, suatu entitas permanen, maka entitas itu tiada lain adalah hasil dari pemikiran Anda, atau hasil dari harapan-harapan Anda, oleh karena merasakan terlalu banyak ketidak-amanan: semuanya sementara, semuanya dalam perubahan yang terus-menerus, dalam suatu pergerakan. Makanya, ketika Anda mengatakan ada sesuatu yang permanen, permanensi itu hanyalah hasil dari pemikiran Anda saja. Dimana, pemikiran adalah produk masa lampau, pemikiran tak pernah bebas dan iapun bisa memperoleh apapun yang diinginkannya!


“Maka, bilamana Anda percaya pada kelahiran mendatang, Anda mesti mengetahui bahwa masa mendatang terkondisi oleh cara hidup Anda sekarang ini, apa yang Anda lakukan sekarang, apa yang Anda pikirkan, apa-apa yang Anda perbuat, etika-etika Anda. Jadi, apa Anda sekarang, apa yang Anda perbuat sekarang, sangatlah berpengaruh. Akan tetapi (sayangnya) orang-orang yang mengatakan dirinya percaya pada kelahiran mendatang, tak memberi perhatian setitikpun terhadap apa yang terjadi sekarang, ah...itu hanya masalah kepercayaan saja.”


“Lantas, bagaimana Anda menemukan apa arti kematian ketika Anda hidup dengan vitalitas, dengan enerji, sehat walafiat? Bukannya ketika Anda tak-seimbang, atau sakit, tidak pada saat-saat terakhir, akan tetapi sekarang ini, mengetahui organisme tak terhindari harus rusak, seperti juga semua mesin. Sayangnya, kita menggunakan 'mesin' kita tanpa rasa hormat samasekali, bukankah demikian? Mengetahui organisme fisikal akan berakhir, pernahkah Anda berpikir tentang apa arti mati? Anda tak bisa memikirkannya. Pernahkah Anda bereksperimen untuk mencari tahu apa arti mati secara psikologis, secara internal? — bukan bagaimana menemukan immortalitas, oleh karena eternitas, yang tanpa waktu, adalah sekarang ini, bukan sedemikian jauhnya di masa mendatang. Untuk mempertanyakannya, seseorang haruslah mengerti masalah waktu secara keseluruhan, bukan hanya waktu kronologis menggunakan jam, akan tetapi waktu yang dirasakan oleh pikiran sebagai suatu proses gradual dari perubahan.


“Bagaimana orang mengetahui tentang hal aneh ini dimana kita semua akan temui suatu hari atau hari lainnya? Dapatkah Anda mati secara psikologis hari ini, mati dari semua yang Anda miliki sekarang? Misalnya: mematikan kesenangan Anda, kemelakatan Anda, ketergantungan Anda, untuk mengakhiri semua itu tanpa argumentasi, tanpa rasionalisasi, tanpa mencoba mencari cara-cara dan maksud-maksud untuk menghindarinya. Tahukah apa maksudnya mati itu, tidak secara fisik akan tetapi secara psikologis, secara internal? Yang berarti mengakhiri apa yang punya kontinyuitas; mengakhiri ambisi Anda, sebab itu yang akan terjadi ketika Anda mati bukan? Anda tak dapat memboyongnya dan duduk di sebelah Tuhan! [tertawa] Ketika Anda benar-benar mati (secara fisikal), Anda harus mengakhiri amat banyak hal tanpa argumen apapun. Anda tak dapat berkata kepada kematian (mrtyu -—anatta), “Ijinkan saya menyelesaikan tugas saya, ijinkan saya merampungkan buku saya, semua yang belum saya rampungkan, ijinkan saya menyembuhkan luka-luka yang pernah saya berikan pada orang lain” — Anda tak punya waktu untuk itu.


“Jadi, bisakah Anda menemukan bagaimana hidup dalam suatu kehidupan kini, hari ini, pada mana selalu ada akhir dari semua yang Anda mulai? Tidak di kantor Anda tentunya, akan tetapi di dalam; untuk mengakhiri semua pengetahuan yang telah Anda kumpulkan — pengetahuan dari pengalaman-pengalaman Anda, ingatan-ingatan Anda, luka-luka Anda, cara hidup membanding-bandingkan, selalu membanding-bandingkan diri Anda dengan yang lainnya. Untuk mengakhiri semua itu, sehingga hari berikutnya batin Anda menjadi segar dan muda. Batin serupa itu tak bisa terluka, dan ia lugu.


“Seseorang harus menemukan sendiri apa arti dari mati; maka tak akan ada ketakutan, oleh karenanya pula setiap hari adalah hari baru — dan saya benar-benar bersungguh-sungguh tentang ini, seseorang dapat melakukannya — dengan demikian, pikiran dan mata Anda dapat melihat kehidupan sebagai sesuatu yang sepenuhnya baru. Itulah eternitas. Itulah kwalitas batin yang telah sampai pada status tanpa-waktu, oleh karena ia telah mengetahui apa arti mati setiap hari terhadap segala sesuatu yang dikumpulkannya seharian. Sesungguhnyalah didalamnya ada kasih. Kasih adalah sesuatu yang sepenuhnya baru setiap hari, namun kesenangan tidak, kesenangan punya kontinyuitas. Kasih senantiasa baru dan oleh karenanya ia adalah eternitasnya sendiri.


[Dari "The Awakening of Intelligence"; diinterpretasikan oleh anatta]

1 komentar:

haridiva mengatakan...

Nice ... ^_^