20.6.08

Hidup Adalah Pilihan

“Life is a choice” Hidup adalah pilihan. Menurut saya kalimat tersebut ada benarnya juga. Bila kita renungkan, dalam satu hari ada begitu banyak hal yang harus kita tentukan dan dalam setiap keputusan yang kita ambil, ada sebuah konsekuensi yang akan terjadi, dan terkadang memiliki dampak yang tidak kecil terhadap orang lain. Setiap hari, kita memiliki begitu banyak pilihan. Dari pilihan yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Kita dapat memilih untuk mematuhi peraturan lalu lintas atau mengabaikannya. Kita dapat memilih menjadi orang yang proaktif atau reaktif. Kita dapat memilih berteman dengan orang bodoh atau dengan orang yang bijaksana. Dan kita dapat memilih menjadi orang baik atau jahat.

Kesadaran dan kepedulian terhadap sesama adalah faktor yang menentukan keputusan mana yang akan kita ambil. Ketidaksadaran dan ketidakpedulian menyebabkan kita melakukan sesuatu yang seringkali merusak ketertiban. Dalam keseharian, cukup banyak orang yang tidak memiliki kepedulian. Di persimpangan – persimpangan dimana tidak ada polisi yang bertugas, tidak sedikit orang yang tidak sabar menunggu giliran yang akhirnya lebih memilih untuk melanggar lampu merah. Dan terkadang, kepedulian dan kepatuhan pun dianggap suatu hal yang bodoh dan salah. Beberapa waktu yang lalu, saya sedang dalam perjalanan ke STMIK MDP, ketika sampai di perempatan di depan Restaurant Selatan Indah saya menghentikan sepeda motor saya karena lampu sedang merah, beberapa saat kemudian salah seorang pengendara motor bergerak maju dan menerobos lampu merah, dan beberapa pengendara lainnya kemudian jadi ikut – ikutan, malah mobil yang ada dibelakang saya mulai membunyikan klakson agar saya segera maju walaupun lampu lalu lintas masih merah. Kejadian serupa juga sering terjadi di perempatan Jl. Radial. Perempatan ini tertib hanya kalau ada polisi yang bertugas. Tapi sayangnya pos polisi di persimpangan ini hampir setiap hari tidak ada petugas yang jaga. Beberapa kali saya berpapasan dengan pengendara motor atau mobil angkot yang melanggar lampu merah, dan terkadang ada yang berteriak dan memaki saya. Bingung juga, dia yang salah kok dia yang marah. Ironis memang. Bangsa yang sudah boleh dibilang tua ini ternyata masih belum dewasa. Masih butuh diatur dan diawasi seperti anak kecil.

Dalam kehidupan beragama pun kita juga memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk menjadi orang yang fanatis terhadap agama tertentu atau menjadi orang yang universalis, yang terbuka pada setiap ajaran – ajaran kebaikan yang bersifat universal, tanpa membatasi diri dengan tembok – tembok syariah agama. Fanatisme terhadap agama dalam kadar tertentu memang membawa dampak positif dalam bentuk disiplin diri, tetapi dengan pemahaman yang dangkal akan membangkitkan rasa “Paling Tau” dan “Paling Benar” yang pada akhirnya akan menimbulkan perselisihan terhadap kelompok agama lain, bahkan terhadap sesama dalam kelompok itu sendiri.

Ada sebuah prinsip indah yang diberikan oleh salah satu Guru Dunia, “Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku”, sebuah prinsip yang sangat selaras dengan Semboyan Luhur Pancasila “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bila diamalkan dalam kehidupan sehari – hari bisa membuat manusia hidup bersama dalam perbedaan dengan damai dan tanpa permusuhan. Bukankah tujuan utama kita adalah untuk memperoleh kehidupan yang damai dan bahagia? Seperti anak TK yang berhenti belajar dan hanya mengerti A = Apel, Fanatisme hanya menunjukkan bahwa kita belum dewasa secara spiritual, dan belum cukup dewasa dalam memahami ke-Esa-an Tuhan.

Saat bangun tidur, kita bisa memilih untuk bangun lebih pagi dan menikmati keheningan, bermeditasi, membaca buku favorit kita sambil mendengarkan alunan musik yang lembut dan menyambut mentari, lalu memulai aktivitas dengan lebih santai dan lebih fresh, atau kita bisa memilih untuk bangun agak siang, lalu mandi dengan buru – buru, tidak sempat sarapan, dan pergi ke kantor dengan perasaan was – was karena takut terlambat. Saat di perjalanan sebuah bis kota yang ugal – ugalan hampir mencelakai kita, kita mempunyai pilihan untuk memaki – maki sopir yang berengsek tersebut dan mungkin makian kita akan membuatnya tersinggung lalu menantang kita berkelahi dan membuat jalanan menjadi macet, atau kita memilih untuk menarik nafas panjang dan melupakan kejadian tersebut lalu menikmati hari kita dengan senyuman. Dalam interaksi sosial pun kita dihadapkan pada pilihan. Apakah kita memilih untuk menjadi budak nafsu, lalu mempermainkan perasaan seseorang dan predikat orang berengsek akan melekat pada diri kita, atau kita lebih memilih menjadi orang baik yang dapat mengendalikan nafsu dan menghargai perasaan orang lain. Everything has a consequences. Segala sesuatu memiliki konsekuensi. Inilah Hukum Sebab Akibat, sebuah prinsip universal yang maha adil dan tidak diskriminatif. Siapapun kita, apapun agama kita, dan apapun status kita, prinsip ini tetap berlaku untuk kita. So, what is your choice?

Tidak ada komentar: