20.6.08

Success is My Destiny

Setiap orang yang berada di planet bumi ini ( yang berakal sehat ) sedang berada dalam proses perjuangan untuk menggapai kesuksesan, kesejahteraan materi, dan kebahagiaan. Setiap hal yang kita lakukan, motivasinya adalah mengejar kesuksesan, kesejahteraan materi, dan kebahagiaan. Kesuksesan, kesejahteraan, dan kebahagiaan adalah hasil dari perjuangan. Perjuangan dalam meniti jalan setapak kehidupan.

Hidupku yang baru dua puluh enam tahun ini pun juga tidak lepas dari serangkaian perjuangan. Lelah? Lumayan! Tapi tanggung kalau harus menyerah dan berhenti di sini. Saat aku menoleh ke belakang, memang hidup selama dua puluh enam tahun rasanya lumayan lama juga. Baru pada usia yang sekarang inilah aku menyadari bahwa kedua orang tuaku adalah orang – orang yang perkasa karena bisa hidup selama lebih dari lima puluh tahun dalam kondisi ekonomi yang kurang oke tanpa bunuh diri. Bravo!! Terlebih lagi mamaku yang kami juluki Wanita Perkasa. Betapa tidak, sejak aku dan dua orang saudaraku masih kecil, beliaulah orang yang selalu berjuang untuk kepentingan ketiga orang anaknya. Mulai dari berjualan es cendol dan embem di depan rumah kami, berjalan kaki berpanas – panasan untuk menjajakan kantong plastik dan sampul buku dari satu tempat ke tempat lain, sampai mengambil upahan menjahit. Mulai dari ditinggal oleh papaku selama kurang lebih tiga bulan tanpa kabar, sampai membayar hutang – hutang papaku. Bahkan hingga saat ini, di usianya yang enam puluh tahun, beliau masih memiliki keinginan untuk membuka warung. Karena beliau masih memiliki impian yaitu memiliki rumah sendiri. Apakah mamaku orang yang sukses? Tentu saja! Mamaku adalah orang yang sukses. Sukses menapaki jalan kehidupan. Sukses mengatasi kejenuhan yang kerap kali menyapa. Dan sukses membesarkan dan mendewasakan ketiga orang anaknya.

“Masa depan adalah milik mereka yang percaya tentang keindahan mimpi – mimpi mereka”
( Eleanor Roosevelt )

Walaupun masa kecil kami (aku dan dua orang saudaraku) boleh di bilang jauh dari kelimpahan materi. Walaupun saat usiaku kurang lebih tiga tahun kami sempat tidak memiliki uang untuk membeli beras apalagi untuk membayar kontrakan rumah karena papaku tidak memiliki pekerjaan. Aku sungguh tidak ingin menyebut keadaan pada masa itu dengan kata “miskin”. Karena kami masih memiliki kesehatan yang baik. Karena kami tidak tidur di kolong jembatan. Karena kami masih memiliki tetangga yang baik hati yang telah banyak membantu keluarga ini di masa – masa sulit itu ( Terima kasih buat Lek Mun, Mbak Ani dan Mas Koko. Terima kasih ). Lebih dari itu, karena di masa – masa sulit seperti itu pun masih tersimpan serangkaian kenangan indah. Ada kenangan indah ketika makan malam bersama mamaku dan dua orang saudaraku dengan sebungkus nasi sayur yang kami barter dengan sebungkus karet gelang. Ada kenangan indah ketika kami merayakan imlek hanya dengan kue tusuk gigi yang kami buat dari hasil kerjaku sebagai pemulung. Ada kenangan indah ketika kakak sulungku menyewa sepeda untuk pertama kalinya dari hasil menjual sebutir telur ayam kampung peliharaan kami. Sungguh serangkaian kenangan yang indah. Aku pun suka tersenyum bila mengingat saat – saat itu.

Memang tidak seperti halnya anak – anak yang terlahir dalam keluarga yang berkelimpahan materi, yang mau apa saja tinggal minta sama bokapnya, yang dapat menikmati sekolah yang mewah, yang bisa belajar hingga perguruan tinggi bahkan sampai ke luar negeri (aku juga mau....) tanpa harus bekerja paruh waktu. Kami memang tidak seberuntung mereka. Tetapi meminjam kata orang bijak “Aku bersedih karena tidak punya sepatu sampai aku melihat orang yang tidak punya kaki” Apabila direnungkan, sesungguhnya kehidupan kami masih lebih baik dibandingkan sebagian besar orang yang tidak punya tempat tinggal, tidak punya keluarga, bahkan tidak sedikit anak yang putus sekolah. Kami jauh lebih beruntung dari mereka. Karena sejak Sekolah Dasar ( SD ) kami sudah memiliki kesempatan untuk menikmati bekerja paruh waktu. Karena sejak Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) kami sudah memiliki kesempatan membayar SPP sendiri, beli buku sendiri, dan tidak perlu minta uang jajan lagi. :-) Walaupun terkadang ada rasa iri di dalam hati ini, iri terhadap mereka yang bisa belajar hingga ke luar negeri, aku masih bersyukur dengan pendidikan yang berhasil ku raih hingga saat ini. Ternyata, lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara merupakan suatu berkah bagiku. Betapa tidak, karena dalam keluarga ini hanya aku yang memiliki kesempatan untuk belajar hingga jenjang Diploma III dan memperoleh gelar Ahli Madya. Dan itu semua berkat kerja keras dan pengorbanan seluruh anggota keluarga. Pengorbanan papa dan mamaku yang setiap aku hendak menerima rapor Sekolah Dasar selalu berusaha mencari pinjaman untuk melunasi tunggakan SPP, pengorbanan dua orang kakakku yang mencetak sampul buku selama 1 – 2 hari lalu menjualnya guna mendapatkan uang untuk mendaftarkan aku di Sekolah Menengah Pertama ( SMP ), dan pengorbanan kakak perempuanku yang melepaskan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas ( SMA ) yang baru berjalan tiga bulan agar kakak sulungku bisa menyelesaikan sekolahnya dan agar aku dapat melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ).

Sejak sekolah dasar, kami mulai belajar mencari uang untuk membantu orang tua. Dalam fase ini, kakak sulungku adalah orang yang memegang peranan yang paling besar dalam mengubah pola berpikirku. Ia memutuskan untuk menjual koran setelah dimarahi oleh mama dan papaku karena bertengkar dengan anak tetangga gara – gara main bola. Saat itu ia masih berada di kelas tiga Sekolah Dasar ( SD ). Setelah dimarahi oleh mama dan papa, mulai keesokan harinya kakakku tidak suka bermain – main lagi. Ia lebih memilih menjual koran bersama dengan teman sekolahnya. Cukup lama juga ia menjual koran, dan cukup banyak yang dapat ia raih ketimbang bermain bersama anak tetangga. Ia mulai bisa membayar SPPnya sendiri, membeli buku, membeli beberapa ekor ayam kampung untuk di pelihara dan kadang – kadang mentraktir adiknya makan bakso atau mie pangsit :-) masih ada dalam memori otakku saat aku mulai mengikuti jejaknya menjual koran. Setiap hari minggu, sehabis menjual koran kami membuat janji untuk bertemu di arena bermain, lalu main game bersama. Setelah itu ia mengajakku membeli bakso di daerah pertokoan Dika untuk dibawa pulang.

Setelah beberapa tahun menjual koran, ia beralih profesi menjadi pegawai di percetakkan pamanku. Saat itu ia sudah di Sekolah Menengah Pertama ( SMP ). Mungkin penghasilan yang dia peroleh di tempat itu lebih besar dari hasil menjual koran sehingga ia memutuskan untuk pindah. Di sana ia bekerja sebagai tukang sablon, mencetak kalender, dan membuat kotak – kotak baut dari kardus rokok. Dalam fase inipun cukup banyak yang bisa ia raih. Dari mulai membeli sepeda, mengontrak rumah, membeli kursi, membeli televisi, sampai mencoba menjalankan industri rumah tangga. Saat itu kakakku sudah mulai menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Atas ( SMEA PGRI 01 ). Ia bekerja sama dengan sahabatnya untuk memproduksi lilin. Kami sekeluarga pun membantunya di bidang produksi dan penjualan. Tetapi usaha tersebut tidak bertahan lama.

Masa kecil yang jauh dari kelimpahan itulah yang mendidik kami untuk mandiri, yang menempa kami untuk belajar dewasa. Masa kecil itu juga yang membuatku bersyukur karena memiliki dua orang saudara yang begitu sayang terhadap adik bungsunya.

Ternyata, jalan menuju puncak kesuksesan itu bukan seperti jalan tol yang bebas hambatan, melainkan mirip jalan setapak di pegunungan yang berkelok – kelok dan banyak batunya.

Hidup Adalah Pilihan

“Life is a choice” Hidup adalah pilihan. Menurut saya kalimat tersebut ada benarnya juga. Bila kita renungkan, dalam satu hari ada begitu banyak hal yang harus kita tentukan dan dalam setiap keputusan yang kita ambil, ada sebuah konsekuensi yang akan terjadi, dan terkadang memiliki dampak yang tidak kecil terhadap orang lain. Setiap hari, kita memiliki begitu banyak pilihan. Dari pilihan yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Kita dapat memilih untuk mematuhi peraturan lalu lintas atau mengabaikannya. Kita dapat memilih menjadi orang yang proaktif atau reaktif. Kita dapat memilih berteman dengan orang bodoh atau dengan orang yang bijaksana. Dan kita dapat memilih menjadi orang baik atau jahat.

Kesadaran dan kepedulian terhadap sesama adalah faktor yang menentukan keputusan mana yang akan kita ambil. Ketidaksadaran dan ketidakpedulian menyebabkan kita melakukan sesuatu yang seringkali merusak ketertiban. Dalam keseharian, cukup banyak orang yang tidak memiliki kepedulian. Di persimpangan – persimpangan dimana tidak ada polisi yang bertugas, tidak sedikit orang yang tidak sabar menunggu giliran yang akhirnya lebih memilih untuk melanggar lampu merah. Dan terkadang, kepedulian dan kepatuhan pun dianggap suatu hal yang bodoh dan salah. Beberapa waktu yang lalu, saya sedang dalam perjalanan ke STMIK MDP, ketika sampai di perempatan di depan Restaurant Selatan Indah saya menghentikan sepeda motor saya karena lampu sedang merah, beberapa saat kemudian salah seorang pengendara motor bergerak maju dan menerobos lampu merah, dan beberapa pengendara lainnya kemudian jadi ikut – ikutan, malah mobil yang ada dibelakang saya mulai membunyikan klakson agar saya segera maju walaupun lampu lalu lintas masih merah. Kejadian serupa juga sering terjadi di perempatan Jl. Radial. Perempatan ini tertib hanya kalau ada polisi yang bertugas. Tapi sayangnya pos polisi di persimpangan ini hampir setiap hari tidak ada petugas yang jaga. Beberapa kali saya berpapasan dengan pengendara motor atau mobil angkot yang melanggar lampu merah, dan terkadang ada yang berteriak dan memaki saya. Bingung juga, dia yang salah kok dia yang marah. Ironis memang. Bangsa yang sudah boleh dibilang tua ini ternyata masih belum dewasa. Masih butuh diatur dan diawasi seperti anak kecil.

Dalam kehidupan beragama pun kita juga memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk menjadi orang yang fanatis terhadap agama tertentu atau menjadi orang yang universalis, yang terbuka pada setiap ajaran – ajaran kebaikan yang bersifat universal, tanpa membatasi diri dengan tembok – tembok syariah agama. Fanatisme terhadap agama dalam kadar tertentu memang membawa dampak positif dalam bentuk disiplin diri, tetapi dengan pemahaman yang dangkal akan membangkitkan rasa “Paling Tau” dan “Paling Benar” yang pada akhirnya akan menimbulkan perselisihan terhadap kelompok agama lain, bahkan terhadap sesama dalam kelompok itu sendiri.

Ada sebuah prinsip indah yang diberikan oleh salah satu Guru Dunia, “Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku”, sebuah prinsip yang sangat selaras dengan Semboyan Luhur Pancasila “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bila diamalkan dalam kehidupan sehari – hari bisa membuat manusia hidup bersama dalam perbedaan dengan damai dan tanpa permusuhan. Bukankah tujuan utama kita adalah untuk memperoleh kehidupan yang damai dan bahagia? Seperti anak TK yang berhenti belajar dan hanya mengerti A = Apel, Fanatisme hanya menunjukkan bahwa kita belum dewasa secara spiritual, dan belum cukup dewasa dalam memahami ke-Esa-an Tuhan.

Saat bangun tidur, kita bisa memilih untuk bangun lebih pagi dan menikmati keheningan, bermeditasi, membaca buku favorit kita sambil mendengarkan alunan musik yang lembut dan menyambut mentari, lalu memulai aktivitas dengan lebih santai dan lebih fresh, atau kita bisa memilih untuk bangun agak siang, lalu mandi dengan buru – buru, tidak sempat sarapan, dan pergi ke kantor dengan perasaan was – was karena takut terlambat. Saat di perjalanan sebuah bis kota yang ugal – ugalan hampir mencelakai kita, kita mempunyai pilihan untuk memaki – maki sopir yang berengsek tersebut dan mungkin makian kita akan membuatnya tersinggung lalu menantang kita berkelahi dan membuat jalanan menjadi macet, atau kita memilih untuk menarik nafas panjang dan melupakan kejadian tersebut lalu menikmati hari kita dengan senyuman. Dalam interaksi sosial pun kita dihadapkan pada pilihan. Apakah kita memilih untuk menjadi budak nafsu, lalu mempermainkan perasaan seseorang dan predikat orang berengsek akan melekat pada diri kita, atau kita lebih memilih menjadi orang baik yang dapat mengendalikan nafsu dan menghargai perasaan orang lain. Everything has a consequences. Segala sesuatu memiliki konsekuensi. Inilah Hukum Sebab Akibat, sebuah prinsip universal yang maha adil dan tidak diskriminatif. Siapapun kita, apapun agama kita, dan apapun status kita, prinsip ini tetap berlaku untuk kita. So, what is your choice?

18.6.08

Waspada terhadap pikiran

Waktu dalam bentuk clock time memang berjalan ke depan tanpa ada yang bisa mengeremnya. Namun psychological time, ia bisa maju atau mundur tergantung seberapa kuat pikiran berkuasa dalam kehidupan seseorang. Siapa saja yang menggendong terlalu banyak masalah dan musibah dalam hidupnya, umumnya memiliki pikiran yang melompat – lompat. Ketika melompat ke masa lalu, temannya bernama penyesalan, kenangan tak terlupakan, marah yang tak termaafkan, dengki yang tidak terobati. Tatkala melompat ke depan, sahabatnya bernama harapan, cita – cita, kekhawatiran, ketakutan, ketidakyakinan, ujung – ujungnya hidup di masa kini jadi lenyap.

Sebenarnya, kita tidak punya masalah. Masalah hanya ada pada pikiran yang sibuk mondar mandir ke depan serta ke belakang. Tatkala pikiran tidak lagi sibuk mondar mandir ke depan dan ke belakang, manusia membiarkan tangan Maha sempurna bekerja sempurna. Akhirnya, masalah dan musibah lenyap, diganti oleh hadiah dan berkah. Saat ini dalam bahasa inggris disebut “present” atau hadiah. Dan setiap hadiah memang selayaknya disyukuri agar semuanya menjadi berkah. Ada berkah yang lahir jadi manusia, udara yang berlimpah, kesehatan yang amat berharga, keluarga yang bahagia, teman – teman yang istimewa, dan masih banyak lagi berkah – berkah lainnya.

14.6.08

Game dan Filosofi Kehidupan

Saya bukan mania game, tapi ada beberapa game yang menjadi favorit saya. Dan main game sebenarnya bukan suatu hal yang tidak baik. Selain sebagai hiburan dan untuk mengasah otak, terkadang bermain game pun dapat memberikan pelajaran tentang kehidupan. Ada sebuah PC game bertema adventure yang sangat saya sukai. Game yang penuh dengan Filosofi ini berkisah tentang seorang Putra Mahkota pada masa Dinasti Qin yang bernama Fusu. Ia dikhianati oleh saudara kandungnya sendiri yang telah diperalat oleh seorang kasim kerajaan. Dan Kasim yang telah mengambil alih kekuasaan memerintahkan semua prajurit untuk memenggal Putera Mahkota tersebut atas nama Kaisar. Setelah lolos dari maut, ia berusaha mencari info apa yang sebenarnya terjadi


Dalam perjalanannya untuk mencari info mengapa dirinya hendak dibunuh, ia membuat rencana – rencana dan tujuan jangka pendek. Tujuan pertama, ia merencanakan dan memutuskan untuk kembali ke Xian Yang Ibukota kerajaan untuk mencari istri dan anak serta sahabatnya. Setelah berhasil mencapai tujuan yang satu, ia akan membuat rencana dan menetapkan tujuan berikutnya. Dalam proses perjalanan untuk mencapai tujuan – tujuannya ia bertemu dengan berbagai macam orang dengan karakter yang berbeda – beda. Ada yang baik, ada yang jahat, ada yang kasar, ada yang lembut, ada yang kikir, ada yang dermawan, ada yang lugu, ada yang malas, ada yang murah hati, dll. Setiap pertemuan akan menimbulkan sesuatu, entah itu menjalin persahabatan, memberi pertolongan, atau bertarung, dll. Rangkaian peristiwa tersebut akan berpengaruh terhadap kemampuan dan kebijaksanaannya. Dan di antara orang – orang yang ia temui, ada beberapa yang menjadi sahabat sejati sekaligus teman perjalanannya.


Dalam kehidupan kita pun demikian. Tidak akan ada keberhasilan tanpa rencana dan tujuan. Tujuan adalah faktor penting untuk menentukan kemana kamu akan pergi, apa yang kamu inginkan, arah mana yang kamu ambil, dan jalan mana yang kamu tempuh. Tanpa tujuan, hidupmu akan mengambang dan berakhir tanpa prestasi.


Setelah mempunyai tujuan, setelah tahu apa yang kamu inginkan, setelah tahu kemana kamu akan pergi, dibutuhkan rencana dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Karena tanpa rencana dan strategi, kita akan bingung apa yang harus dilakukan, dan apa yang menjadi prioritas.


Agar rencana berhasil dan tujuan bisa tercapai dengan lebih mudah, kita perlu teman yang memiliki tujuan yang sama dan dapat diajak kerjasama. Tidak peduli siapa yang memimpin, selama kesulitan bisa diatasi bersama, selama keberhasilan dapat bermanfaat bagi semua. Bukankah meraih tujuan secara team lebih mudah ketimbang seorang diri ? bukankah melakukan perjalanan bersama team lebih aman daripada berjalan seorang diri ? dan, bukankah menghadapi masalah dan tantangan bersama team akan lebih mudah dan menghemat tenaga ? 1+1=3 Inilah yang dinamakan Sinergi. Dua karakter, dua kepribadian, dua keahlian, namun satu tujuan. Seperti prinsip Musketer yang indah “One For All, All For One”.

12.6.08

Mempertanyakan Makna Kehidupan - Krishnamurti



Orang harus mengerti seluruh pertanyaan menyangkut eksistensi, menyangkut konflik-konflik, menyangkut pertempuran-pertempuran (di dalam) — pokoknya menyangkut seluruh kehidupan yang dijalaninya — (yang selama ini tampak) sedemikian kosong, sedemikian tanpa makna. Para intelektual mencoba memberinya satu makna, dan kitapun ingin menemukan signifikansi dalam hidup, oleh karena hidup tak punya makna bila hanya sekedar dihidupi saja; bukankah demikian? Perjuangan terus-menerus, kerja tiada henti, kesedihan, penderitaan, kesakitan waktu melahirkan, semua itu sebetulnya telah dijadikan tanpa makna — (sejauh) kita hanya menjalaninya sebagai suatu kebiasaan saja, suatu rutinitas saja. Akan tetapi, untuk menemukan signifikansi hidup, seseorang juga mesti mengerti signifikansi dari kematian, oleh karena kehidupan dan kematian berjalan seiring, bukan dua hal yang terpisah satu dengan yang lainnya.


“Makanya, orang harus mempertanyakan apa arti dari mati, oleh karena ia merupakan bahagian dari kehidupan kita. Ia bukan sesuatu yang jauh di masa depan, untuk dihindari, atau hanya akan dihadapi ketika sedang sakit parah, saat usia tua atau dalam suatu kecelakaan maupun di medan pertempuran. Sejauh ia merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari untuk hidup tanpa konflik pada setiap tarikan nafaspun, maka adalah merupakan bagian dari hidup kita juga untuk mengetahui apa artinya bagi kehidupan. Itu juga merupakan bagian dari keberadaan kita, makanya seseorang mesti memahaminya.


“Bagaimana kita bisa memahami apa kematian itu? Manakala Anda sedang sekarat, pada momen-momen terakhir, dapatkah Anda mengerti cara hidup Anda selama ini — tegangan-tegangan, perjuangan-perjuangan emosional, ambisi-ambisi, dan keinginan-keinginan? Anda mungkin tak sadarkan diri, sehingga membuat Anda tak mampu mencerap dengan baik. Belum lagi kacaunya pikiran pada usia tua dan sepanjang sisa hidup Anda itu. Makanya orang harus mengerti apa itu kematian sekarang, bukan besok. Manakala Anda hendak mencermatinya, pikiran tak mau memikirkannya. Ia malah memikirkan tentang apa yang akan dilakukan besok — bagaimana mengembangkan usaha baru, kamar-madi kamar-mandi yang lebih baik, serta berbagai hal-hal yang bisa dipikirkannya. Tapi ia tak mau memikirkan tentang mati, karena ia sendiri tak tahu apa artinya mati.


“Apakah makna dari kematian dapat ditemukan melalui proses dari pikiran? Mohon berbagi dalam hal ini. Manakala kita berbagi, kitapun akan melihat keindahan daripadanya, akan tetapi bilamana Anda hanya duduk disana dan membiarkan si pembicara nyerocos, hanya mendengarkan kata-katanya saja, maka kita tak berbagi bersama. Berbagi bersama mengimplikasikan kepedulian, perhatian, kasih-sayang, cinta. Kematian adalah suatu masalah besar. Anak-anak muda bisa saja berkata: "Mengapa merepotkannya?". Akan tetapi (mereka tak sadar kalau) ini bagian dari hidupnya, seperti hidup selibat yang juga bagian dari hidup mereka untuk dimengerti. Jangan hanya berkata, “Mengapa Anda bicara tentang hidup selibat, itu kan untuk para orang tua kolot, itu kan untuk pendeta-pendeta bodoh.” Apa makna (sebenarnya) dari hidup selibat (brahmacarya —anatta) juga masih merupakan masalah manusia, dan itupun bagian dari kehidupan.


“Bisakah pikiran sepenuhnya murni? Tak mampu menemukan bagaimana caranya hidup dalam kehidupan suci, orang-orang bersumpah selibat serta melaksanakan praktek-praktek penyiksaan-diri. Itu bukan hidup selibat. Hidup selibat (brahmacarya —anatta) adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda: ia diperuntukkan agar pikiran bebas dari citra-citra mental, dari semua pengetahuan (yang usang), yang berarti memahami keseluruhan proses dari kesenangan dan ketakutan.


“Demikianlah halnya, orang harus mengetahui hal yang disebut mati ini. (Tapi) bagaimana Anda akan melanjutkan memahami sesuatu pada apa Anda sangat ketakutan? Bukankah kita ketakutan pada kematian? Atau apakah, kita berkata, “Terimakasih Tuhan saya akan mati. Saya telah bosan pada hidup ini dengan segala deritanya, kebingungan, kebobrokan, kebrutalan, hal-hal mekanis pada mana seseorang terperangkap; sekali lagi terimaksih Tuhan semua ini akan berakhir!” Itu bukan jawabannya; bukan juga itu merasionalisasikan kematian, atau hanya karena percaya pada reinkarnasi, seperti yang dipercaya oleh seluruh dunia Asiatik. Untuk menemukan apa arti reinkarnasi, yang adalah terlahir pada kehidupan mendatang, Anda mesti mencari tahu, apa Anda sekarang. Bilamana Anda percaya pada reinkarnasi, (maka jawablah dahulu pertanyaan) apa Anda ini sekarang? — banyak kata-kata, banyak pengalaman, banyak pengetahuan; Anda terkondisi oleh beraneka-ragam budaya, Anda seluruhnya merupakan identifikasi dari kehidupan Anda — meubeler Anda, rumah Anda, rekening bank Anda, pengalaman suka dan duka Anda — itulah Anda, bukankah demikian? Ingatan-ingatan akan kegagalan, akan harapan-harapan, akan kekecewaan-kekecewaan — semua keberadaan Anda sekarang — itulah yang akan terlahir lagi pada kehidupan yang akan datang. Bukankah ini suatu gagasan yang indah?


“Ataukah, Anda pikir ada suatu jiwa permanen, suatu entitas permanen. Adakah sesuatu yang permanen dalam diri Anda? Pada saat Anda mengatakan ada suatu jiwa permanen, suatu entitas permanen, maka entitas itu tiada lain adalah hasil dari pemikiran Anda, atau hasil dari harapan-harapan Anda, oleh karena merasakan terlalu banyak ketidak-amanan: semuanya sementara, semuanya dalam perubahan yang terus-menerus, dalam suatu pergerakan. Makanya, ketika Anda mengatakan ada sesuatu yang permanen, permanensi itu hanyalah hasil dari pemikiran Anda saja. Dimana, pemikiran adalah produk masa lampau, pemikiran tak pernah bebas dan iapun bisa memperoleh apapun yang diinginkannya!


“Maka, bilamana Anda percaya pada kelahiran mendatang, Anda mesti mengetahui bahwa masa mendatang terkondisi oleh cara hidup Anda sekarang ini, apa yang Anda lakukan sekarang, apa yang Anda pikirkan, apa-apa yang Anda perbuat, etika-etika Anda. Jadi, apa Anda sekarang, apa yang Anda perbuat sekarang, sangatlah berpengaruh. Akan tetapi (sayangnya) orang-orang yang mengatakan dirinya percaya pada kelahiran mendatang, tak memberi perhatian setitikpun terhadap apa yang terjadi sekarang, ah...itu hanya masalah kepercayaan saja.”


“Lantas, bagaimana Anda menemukan apa arti kematian ketika Anda hidup dengan vitalitas, dengan enerji, sehat walafiat? Bukannya ketika Anda tak-seimbang, atau sakit, tidak pada saat-saat terakhir, akan tetapi sekarang ini, mengetahui organisme tak terhindari harus rusak, seperti juga semua mesin. Sayangnya, kita menggunakan 'mesin' kita tanpa rasa hormat samasekali, bukankah demikian? Mengetahui organisme fisikal akan berakhir, pernahkah Anda berpikir tentang apa arti mati? Anda tak bisa memikirkannya. Pernahkah Anda bereksperimen untuk mencari tahu apa arti mati secara psikologis, secara internal? — bukan bagaimana menemukan immortalitas, oleh karena eternitas, yang tanpa waktu, adalah sekarang ini, bukan sedemikian jauhnya di masa mendatang. Untuk mempertanyakannya, seseorang haruslah mengerti masalah waktu secara keseluruhan, bukan hanya waktu kronologis menggunakan jam, akan tetapi waktu yang dirasakan oleh pikiran sebagai suatu proses gradual dari perubahan.


“Bagaimana orang mengetahui tentang hal aneh ini dimana kita semua akan temui suatu hari atau hari lainnya? Dapatkah Anda mati secara psikologis hari ini, mati dari semua yang Anda miliki sekarang? Misalnya: mematikan kesenangan Anda, kemelakatan Anda, ketergantungan Anda, untuk mengakhiri semua itu tanpa argumentasi, tanpa rasionalisasi, tanpa mencoba mencari cara-cara dan maksud-maksud untuk menghindarinya. Tahukah apa maksudnya mati itu, tidak secara fisik akan tetapi secara psikologis, secara internal? Yang berarti mengakhiri apa yang punya kontinyuitas; mengakhiri ambisi Anda, sebab itu yang akan terjadi ketika Anda mati bukan? Anda tak dapat memboyongnya dan duduk di sebelah Tuhan! [tertawa] Ketika Anda benar-benar mati (secara fisikal), Anda harus mengakhiri amat banyak hal tanpa argumen apapun. Anda tak dapat berkata kepada kematian (mrtyu -—anatta), “Ijinkan saya menyelesaikan tugas saya, ijinkan saya merampungkan buku saya, semua yang belum saya rampungkan, ijinkan saya menyembuhkan luka-luka yang pernah saya berikan pada orang lain” — Anda tak punya waktu untuk itu.


“Jadi, bisakah Anda menemukan bagaimana hidup dalam suatu kehidupan kini, hari ini, pada mana selalu ada akhir dari semua yang Anda mulai? Tidak di kantor Anda tentunya, akan tetapi di dalam; untuk mengakhiri semua pengetahuan yang telah Anda kumpulkan — pengetahuan dari pengalaman-pengalaman Anda, ingatan-ingatan Anda, luka-luka Anda, cara hidup membanding-bandingkan, selalu membanding-bandingkan diri Anda dengan yang lainnya. Untuk mengakhiri semua itu, sehingga hari berikutnya batin Anda menjadi segar dan muda. Batin serupa itu tak bisa terluka, dan ia lugu.


“Seseorang harus menemukan sendiri apa arti dari mati; maka tak akan ada ketakutan, oleh karenanya pula setiap hari adalah hari baru — dan saya benar-benar bersungguh-sungguh tentang ini, seseorang dapat melakukannya — dengan demikian, pikiran dan mata Anda dapat melihat kehidupan sebagai sesuatu yang sepenuhnya baru. Itulah eternitas. Itulah kwalitas batin yang telah sampai pada status tanpa-waktu, oleh karena ia telah mengetahui apa arti mati setiap hari terhadap segala sesuatu yang dikumpulkannya seharian. Sesungguhnyalah didalamnya ada kasih. Kasih adalah sesuatu yang sepenuhnya baru setiap hari, namun kesenangan tidak, kesenangan punya kontinyuitas. Kasih senantiasa baru dan oleh karenanya ia adalah eternitasnya sendiri.


[Dari "The Awakening of Intelligence"; diinterpretasikan oleh anatta]